Tuesday, November 6, 2012

Al Quran.... (Sandi Tingkat Tinggi)

Kalau di kalangan Kristiani ada bilangan 666 sebagai bilangan misterius maka di kalangan Muslim ada bilangan yang hampir sama dengan bilangan 666 ini. 

Angkanya sama yaitu 6. 

Namun 6 nya berbaris 4 kali yaitu 6666. 

Perbedaan mencolok antara 666 dengan 6666 sebagai bilangan misterius adalah tersurat dan tidak tersuratnya bilangan itu dalam kitab suci. 

Dalam Injil, bilangan 666 tersurat sebagai ayat dalam Kitab Wahyu 13 : 18, yang berbunyi sbb. : 

"Yang penting di sini ialah hikmat : barangsiapa yang bijaksana baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan manusia, dan bilangannya adalah enam ratus enam puluh enam."

Sedangkan dalam AlQuran 6666 tidak tersurat sama sekali.

Banyak sebutan yang dilekatkan kepada bilangan 666. 

Sedangkan bilangan 6666 hanya punya satu sebutan saja yaitu jumlah ayat dalam AlQuran. Bisa disebut sebagai agak aneh jika 6666 disebut sebagai jumlah ayat karena jumlah ayat AlQuran adalah 6236. 

Cukup banyak orang yang ketika ditanya tentang jumlah ayat dalam AlQuran menjawab dengan bilangan 6666.

Mari lepaskan 6666 dan lepaskan juga 6236. Lihatlah selisih kedua bilangan ini. Tepat 430. Ada “empat”, “tiga”, dan “nol”. 

Lalu kita lihat beberapa catatan berikut. 
Dalam tulisan Arab : 

Tulisan “bismi” diawal kalimat basmalah, jumlah hurufnya adalah 3, dengankan tulisan “allah” di belakangnya berjumlah 4

Kalimat “la ilaha illa allah” terdiri atas 4 kata, dan kalimat “muhammad rasul allah” terdiri atas 3 kata. Ada 4 huruf nun di akhir ayat Surat Pembuka, dan 3 huruf mim di akhir surat yang sama.

Surat AnNas sebagai surat terakhir tercatat sebagai surat yang ke 114. Jika kita pakai basis 5 (karena angka tertingginya 4) lalu kita terjemahkan ke bilangan desimal, kita akan memperoleh bilangan 34. Langkahnya sbb : (1×5^2) + (1×5^1) + (4×5^0) = 25 + 5 + 4 = 34.

Lambang 4, dan 3 mengarah kepada adanya kesesuaian antara bilangan-bilangan tersebut dengan ciri-ciri yang ada pada tubuh  manusia. Barangkali, jika angka-angka itu sebagai sandi maka sederhananya AlQuran adalah “kunci/alfatihah” untuk membuka “manusia/annas” agar tahu dzati/diri (bukan “jatidiri).
  
Inti AlQuran adalah alfatihah, inti alfatihah adalah bismillah, inti bismillah adalah huruf ba, dan huruf ba bukanlah huruf ba jika tak ada titik di bawahnya. 

Pernah saya baca "bi kana ma kana, bi kunu ma yakunu … "
terjemahan bebasnya kira-kira sbb : 

"karena ada ba maka ada segala sesuatu, ba tidak ada maka segala sesuatu tidak ada…. "

Titik dalam huruf Ba hendaknya tidak dipandang sebagai sebuah bentuk titik seperti halnya titik di akhir kalimat atau di atas huruf i, tapi sebagai sebuah simbol yang harus dicari pada diri sendiri … 

Banyak titik dalam AlQuran tapi hanya satu titik dalam diri

Sebuah kemungkinan yang disebut "Masa Depan"


Vibrasi pikiran akan menciptakan wujud-wujud nyata dalam realita. “Kehidupan yang kita jalani saat ini adalah hasil pikiran di masa lalu, dan pikiran kita saat ini akan menghasilkan kehidupan di masa depan”.

Hello ? Masa depan ?
Apakah masa depan itu ? 
Apakah masa depan benar-benar ada sehingga banyak orang bilang dan berusaha untuk meraih masa depan lebih baik ?

Bila kita bicara dari sisi ‘present‘ tentang segala kejadian yang ada, maka pikiran kita hanyalah ada untuk saat ini. Artinya yang tersentuh oleh pikiran adalah saat-saat kini yang terjadi. Dalam hal inipun maka masa lalu menjadi tidak ada, ia hanya sebuah ‘kesan’ dari bagian pikiran.

Terjebaknya manusia dalam anggapan masa lalu yang menjerat dan tidak bisa melepaskannya adalah karena ia menganggap masa lalu sebagai wujud nyata dan bukan sebagai ‘kesan’.

Memaknai masa lalu sebagai kesan adalah bukan menganggapnya masih sebagai wujud nyata peristiwa, namun belajar dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh sebab tindakan didalamnya.

Melekatnya masa lalu sebagai gambar yang dianggap masih hidup dalam masa kini karena pikiran kita memang masih mengijinkan ia untuk singgah berlama-lama.
Vibrasi dari seluruh tindakan masa lalu itulah yang kini mewujud dalam sebuah masa kini yang sedang kita hadapi. Artinya segala hal yang hadir dalam kehidupan masa kini adalah akibat dari akumulasi vibrasi masa lalu.

Saya menggunakan istilah vibrasi untuk memahami bahwa semua tindakan menghasilkan getaran yang menyebabkan resonansi dari alam semesta. Vibrasi ini memantul dan akan kita terima sebagai wujud realita dari hasil tindakan kita sendiri.

Dalam masa sekarang tentu saja akan terwujud banyak tindakan yang bisa kita lakukan. Semua tindakan tersebut akan membawa kita kepada kemungkinannya sendiri-sendiri, yaitu terwujudnya masa depan bagi setiap tindakan. Apabila saat ini kita menyadari bahwa kita mempunyai banyak pilihan untuk bertindak dan merespon sebuah aksi dengan pilihan reaksi, maka masa depan adalah sebuah kemungkinan. Kemungkinan dari masa depan adalah sebanyak pilihan dari respon kita terhadap aksi yang ada.

Contoh sederhana adalah dua orang yang sama-sama berprofesi sebagai pegawai di sebuah perusahaan. Masa depan mereka menjadi tidak sama karena tergantung dari pilihan tindakan pada masa kini. Pegawai yang satu memilih hidup sederhana dan gemar menabung, sedangkan pegawai yang satu lagi memilih hidup dengan gaya hidup konsumtif. Dari pilihan tindakan tersebut, masing-masing sudah masuk dalam kemungkinannya sendiri-sendiri. Belum lagi apabila mereka menambah tindakan-tindakan lainnya yang tentu saja akan mewujudkan kemungkinan yang berbeda dari sebelumnya.

Memahami bahwa seluruh tindakan akan membawa resonansi vibrasi bagi kehidupan yang mewujud menjadi realita bagi diri yang melakukannya, adalah sebuah langkah sadar untuk mewujudkan kemungkinan masa depan bagi dirinya sendiri.

“Masa depan adalah sebuah kemungkinan, anda sendirilah yang memilih untuk mewujudkannya dalam kehidupan anda!”

Cinta yang membebaskan....

Bagi sebagian besar manusia cinta dipahami sebagai sesuatu yang dituntut. Dalam hal ini adalah rasa memiliki. 

Aku mencintaimu dan aku memilikimu kemudian kamu penuhi harapanku akan dirimu. Hampir tidak ditemukan cinta sebagai compassion, yaitu sebagai rasa yang membebaskan.

Dua orang manusia yang dikatakan jatuh cinta sebagian besar hanya menjadikan ‘compassion’ pada awal-awal cintanya. 
Selanjutnya adalah rasa tuntutan untuk memenuhi harapannya masing-masing.
Yang satu berharap ingin diperhatikan setiap saat, yang satu lagi berharap hal yang sama. 
Ketika harapan dari keduanya tak terpenuhi maka cinta akan lari dan menjadi kecurigaan dalam langkahnya.

Cinta yang jauh dari ‘compassion’biasanya adalah cinta yang dipenuhi hasrat untuk memiliki seutuhnya. 
Ungkapan ‘kamu milikku satu-satunya’ adalah harapan ego untuk menjadikan cinta sebagai sebuah penjara kepemilikan. 

Saya mengatakan penjara karena masing-masing menjadi sangat terikat untuk memenuhi harapan yang diinginkan.
Bayangkan sebuah kejadian seperti ini: 

"Salah satu dari dua pasangan yang mengatakan saling mencintai, salah satunya ingin setiap saat ditelpon sebagai sebuah bentuk perhatian (ini harapannya). Kemudian satunya pada awalnya memenuhi harapan tersebut sebagai bentuk ‘pemberian’ tanpa pamrih. Namun karena harapan tersebut selalu diulang dan menjadi bentuk keterikatan (terikat karena bila tak dipenuhi akan marah), maka langkah memenuhi harapan akan menjadi penjara baru, yaitu langkah ‘terpaksa’ biar tidak marah."

Cinta yang didalamnya ada ‘compassion’ adalah rasa saling percaya sehingga cinta itu membebaskan jiwa. 
Yang satu memberi kepercayaan sepenuhnya dan yang satu lagi menjaga kepercayaan dengan memberikan hal-hal yang damai.
Memahami cinta yang didalamnya ada ‘compassion’ bukan menciptakan penjara-penjara baru keterikatan, yaitu jadwal keterikatan baru yang dulunya tidak ada. Masing-masing pihak dengan penuh kesadaran menyadari apa-apa yang tidak disukai pasangan dan apa yang disukai pasangan, tanpa tuntutan.
Saya mengulangi lagi bahwa compassion dalam cinta adalah mewujudkan kesadaran akan langkah yang sadar tentang apa yang disukai pasangan dan apa yang tidak disukai pasangan, tanpa tuntutan.

Bila salah satu menuntut akan sebuah harapan, maka terjadi kesalahan didalam kedua belah pihak. Yang menuntut sudah menjadikan langkah cinta menjadi keterikatan, sehingga harus ada dan selalu ada. Yang dituntut sudah menjadikan dirinya tidak sadar akan apa yang tidak disukai pasangan.
Menyadari compassion dalam cinta memang membutuhkan kematangan jiwa dan kesadaran akan diri. Disini keterikatan diletakkan sebagai sebuah penjara yang mengikat akan pemenuhan harapan-harapan cintanya.
Bila kesadaran akan apa yang disukai pasangan saling muncul, maka tuntutan menjadi tidak ada. Dan bila kesadaran akan apa yang tidak disukai pasangan juga saling muncul maka kekecewaan juga tidak ada.
Kedua belah pih`k menjadi tidak sadar akan apa yang disukai dan apa yang tidak disukai adalah karena ego. Ada ego yang ingin menang, ego ingin menguasai, dan juga ego ingin semaunya sendiri.
Cinta yang bebas bukan berarti hidup bebas dan bukan pula berarti sex bebas. Cinta yang bebas justru mengandung compassion, yaitu kesadaran diri yang tinggi untuk saling memberi yang terbaik tanpa tuntutan.