Tingkat pemahaman setiap orang jelas berbeda. Dan
pemahaman tersebut akan berkembang terus mengikuti evolusi pemikirannya.
Tidak ada satu orangpun yang berhak memaksakan pandangannya terhadap
orang lain dan meng-klaim dirinya benar atas apa yang telah dipahaminya.
Demikian juga dengan tafsir agama.
Banyak bermunculan ahli tafsir yang menjadi rujukan
masyarakat untuk menafsirkan sesuatu tentang agama. Namun semakin
banyak orang yang merujuk padanya, akhirnya ego tersentuh dan melambung
sehingga ia meyakini bahwa tafsirannya adalah tafsir yang paling benar.
Politisasi tentang ilmu tafsir yang dibuat rumit hanya bertujuan menciptakan birokrasi tafsir yang ujung-ujungnya adalah otoritasi tafsir oleh sekelompok orang untuk keperluan kepentingan politik kelompok.
Semua agama, tentu saja mengarah kepada kebaikan,
ketentraman, kedamaian, dan cinta. Agama mana yang tidak mengajarkan
hal-hal diatas? Justru karena ego tafsir masing-masing yang menyebabkan
gesekan-gesekan untuk tidak setuju bahkan menyalahkan dan tindakan
menghakimi tentang kesalahan yang dianggap ada.
Kerdilnya pemikiran
seseorang dalam bicara masalah agama adalah, tidak mau melepaskan
keyakinan agamanya untuk melihat sudut pandang baru saat itu untuk
memahami mengapa pemikiran baru tersebut dilontarkan oleh orang lain
dari sudut pandangnya.
Kemudian yang terjadi adalah tersulutnya ego untuk mempertahankan keyakinannya yang secara implicit mengatakan bahwa, ‘jangan usik aku siapa tahu aku salah!’
Seorang yang dikatakan ahli tafsirpun, ia hanya sharing atau berbagi tentang pandangan-pandangannya tentang agama. Ia tidak memegang otoritasi kebenaran atasnya.
Pemahaman tentang sharing atau berbagi ini yang sering tidak dipahami dalam interaksi agama sehingga yang muncul adalah perdebatan argumentasi
atas apa yang diyakininya. Yang satu mencari kelemahan argumentasi yang
lain, yang satu mencari rujukan untuk argumentasinya, yang satu ingin
menyatakan kebenaran keyakinannya.
Dalam sharing , yang ada adalah
berbagi pengalaman atas penghayatan agamanya. Berbagi pengalaman atas
pemahaman suatu ayat, pemahaman atas tata cara ibadah, pemahaman atas
unsur-unsur spiritualitas agama. Dalam sharing tidak ada unsur yang satu
lebih tinggi dari yang lain, tidak ada unsur yang satu lebih benar dari
yang lain, dan tidak ada unsur yang satu mengajari yang lain.
Ia hanya berbagi atas apa yang ia alami selama memahami dan menjalani agamanya.
Kemudian kegiatan sharing yang terdiri dari
beberapa orang yang saling berbagi dan saling bercerita tentang
pemahamannya tanpa penghakiman tentang benar dan salah. Bila ada yang
dirasa lebih dari yang satu, yang satu akan mengambil pelajaran
darinya. Dan bila dirasa ada yang belum diketahui tentang sebuah
pemahaman, maka ia akan mengambil pelajaran pula darinya.
Karena pada dasarnya, pemahaman seseorang adalah miliknya saat itu, sesuai dengan pemahamannya saat itu.
Segala bentuk pertengkaran dan saling
menyalahkan atau mengkafirkan yang lain, adalah langkah ego yang ingin
mempertahankan keyakinannya karena ia merasa bahwa ia lebih benar dan
lebih pintar dari yang lainnya.
Ajaran agama tidak akan merusak satu
sama lain, namun terusiknya pikiran untuk mempertahankan ego keyakinan
itulah yang menjadi sumber kerusakan !
No comments:
Post a Comment