Kata dasar dari As Sajadah adalah Sujud.
Bila dalam melakukan shalat, bila gerak shalatnya sesuai dengan rukun shalatnya, maka gerak anggota badan orang yang shalat tersebut tidak akan keluar dari sajadah yang dipakai sebagai dasar pijakan di dalam melakukan shalatnya.
Oleh sebab itu As Sajadah dapat di intepretasikan sebagai “batasan” atau “keterbatasan”. Keseimbangan dan harmonisasi atara perilaku hidup manusia dengan alam hanya akan terjadi apabila setiap manusia mempunyai kesadaran, bahwa selain dirinya sendiri mempunyai “keterbatasan”,alam pun juga mempunyai hal yang sama yaitu “keterbatasan” dalam memenuhi kehendak hidup manusia yang tak kenal batas tersebut. Manusia yang sehat adalah manusia yang seimbang, yaitu seimbang antara kehendak atau nafsunya dengan kemampuan dirinya dalam merealisasikan kehendak tersebut. Apabila Fisik atau otak manusia dipaksa untuk memenuhi kehendak yang tidak kenal batas tersebut, maka Fisik atau otak orang tersebut akan mengalami tekanan-tekanan yang berakibat pada rusaknya keseimbangan atau kesehatan yang sudah ada.
Perilaku manusia yang dalam kondisi tidak seimbang dapat menimbulkan akibat yang negatif terhadap lingkungan sosialnya maupun lingkungan kosmisnya. Untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan individual dengan kehidupan sosial dan kehidupan kosmisnya, terlebih dahulu harus dimulai dari menyeimbangkan diri sendiri. Setelah itu secara bertahap baru kelingkungan yang lebih luas, keluarga, masyarakat dalam skala sempit, masyarakat keseluruhan, terus meluas baru kemudian lingkungan kosmisnya.
Dalam idiom budaya kita, keseimbangan dan harmonisasi antara perilaku hidup manusia dengan alam dikenal dengan istilah “Manunggalnya Jagad Cilik dengan Jagad Gede” atau “Manunggalnya Kawulo Gusti”. Pengertian “Gusti” disini bukan Dzat Allah, tetapi Cipta, Rasa, Karsa dan Cipta dari Sang Pencipta yang terwujud dalam perilaku kehidupan alam yang selalu patuh pada hukum-hukum kehidupan alam. Kata “manunggal” sendiri lebih tepat diartikan sebagai menyatu dalam ke-“jumbuh”-an. Jumbuh mempunyai pengertian tidak sama, tapi ketidak-samaan yang ada sudah sulit untuk dibedakan. Misalnya, air sumur yang jernih dari sumur dicampur dengan air jernih dari leding. Jadi “Manunggalnya Kawulo dengan Gusti” dapat diartikan sebagai jumbuhnya cipta, rasa, karsa dan cipta antara manusia dengan Penciptanya, dan itu terwujud dalam menyatunya dalam ke-jumbuh-an antara perilaku hidup manusia dengan gerak kehidupan alam.
Dari sini terlihat Al Qur'an yang diturunkan di Timur Tengah pada beberapa abad yang lalu ternyata bisa dipakai untuk memahami budaya Jawa. Hal ini merupakan salah satu bukti dari sifat ke-universal-an Al Qur’an.
Analisa yang dilakukan diatas tadi baru menyentuh permukaan Al Qur'an, baru studi awal terhadap format yang ada di dalamnya. Baru mempergunakan parameter surat dan Juz, belum mempergunakan seluruh parameter yang ada. Untuk melakukan studi terhadap ayat, sangat dibutuhkan kerjasama dan kontribusi dari setiap orang yang berniat melakukan pemahaman tentang kehidupan. Dengan menggunakan metoda ini kajian ayat menjadi kajian yang sangat advance. Untuk sampai ke kajian tersebut dibutuhkan kontribusi dari banyak orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Begitu luasnya kandungan ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al Qur'an, sehingga dikatakan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya tak akan habis biarpun ditulis dengan pena sebanyak daun-daun yang ada di seluruh pohon-pohon, dan dengan tinta sebanyak air yang ada di tujuh samudra. Artinya, merupakan kemustahilan bahwa ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al Qur'an dapat dikuasai sepenuhnya oleh satu orang atau satu kelompok orang. Pada tahap awal saja, sudah disadari tentang kebutuhan terhadap masukan dari banyak pihak. Semakin banyak masukan dari banyak pihak, semakin lengkaplah hasil kajian yang dilakukan. Itulah keindahan dari keterbukaan pikiran atau keterbukaan sikap dalam bersilaturahmi.
Bila dalam melakukan shalat, bila gerak shalatnya sesuai dengan rukun shalatnya, maka gerak anggota badan orang yang shalat tersebut tidak akan keluar dari sajadah yang dipakai sebagai dasar pijakan di dalam melakukan shalatnya.
Oleh sebab itu As Sajadah dapat di intepretasikan sebagai “batasan” atau “keterbatasan”. Keseimbangan dan harmonisasi atara perilaku hidup manusia dengan alam hanya akan terjadi apabila setiap manusia mempunyai kesadaran, bahwa selain dirinya sendiri mempunyai “keterbatasan”,alam pun juga mempunyai hal yang sama yaitu “keterbatasan” dalam memenuhi kehendak hidup manusia yang tak kenal batas tersebut. Manusia yang sehat adalah manusia yang seimbang, yaitu seimbang antara kehendak atau nafsunya dengan kemampuan dirinya dalam merealisasikan kehendak tersebut. Apabila Fisik atau otak manusia dipaksa untuk memenuhi kehendak yang tidak kenal batas tersebut, maka Fisik atau otak orang tersebut akan mengalami tekanan-tekanan yang berakibat pada rusaknya keseimbangan atau kesehatan yang sudah ada.
Perilaku manusia yang dalam kondisi tidak seimbang dapat menimbulkan akibat yang negatif terhadap lingkungan sosialnya maupun lingkungan kosmisnya. Untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan individual dengan kehidupan sosial dan kehidupan kosmisnya, terlebih dahulu harus dimulai dari menyeimbangkan diri sendiri. Setelah itu secara bertahap baru kelingkungan yang lebih luas, keluarga, masyarakat dalam skala sempit, masyarakat keseluruhan, terus meluas baru kemudian lingkungan kosmisnya.
Dalam idiom budaya kita, keseimbangan dan harmonisasi antara perilaku hidup manusia dengan alam dikenal dengan istilah “Manunggalnya Jagad Cilik dengan Jagad Gede” atau “Manunggalnya Kawulo Gusti”. Pengertian “Gusti” disini bukan Dzat Allah, tetapi Cipta, Rasa, Karsa dan Cipta dari Sang Pencipta yang terwujud dalam perilaku kehidupan alam yang selalu patuh pada hukum-hukum kehidupan alam. Kata “manunggal” sendiri lebih tepat diartikan sebagai menyatu dalam ke-“jumbuh”-an. Jumbuh mempunyai pengertian tidak sama, tapi ketidak-samaan yang ada sudah sulit untuk dibedakan. Misalnya, air sumur yang jernih dari sumur dicampur dengan air jernih dari leding. Jadi “Manunggalnya Kawulo dengan Gusti” dapat diartikan sebagai jumbuhnya cipta, rasa, karsa dan cipta antara manusia dengan Penciptanya, dan itu terwujud dalam menyatunya dalam ke-jumbuh-an antara perilaku hidup manusia dengan gerak kehidupan alam.
Dari sini terlihat Al Qur'an yang diturunkan di Timur Tengah pada beberapa abad yang lalu ternyata bisa dipakai untuk memahami budaya Jawa. Hal ini merupakan salah satu bukti dari sifat ke-universal-an Al Qur’an.
Analisa yang dilakukan diatas tadi baru menyentuh permukaan Al Qur'an, baru studi awal terhadap format yang ada di dalamnya. Baru mempergunakan parameter surat dan Juz, belum mempergunakan seluruh parameter yang ada. Untuk melakukan studi terhadap ayat, sangat dibutuhkan kerjasama dan kontribusi dari setiap orang yang berniat melakukan pemahaman tentang kehidupan. Dengan menggunakan metoda ini kajian ayat menjadi kajian yang sangat advance. Untuk sampai ke kajian tersebut dibutuhkan kontribusi dari banyak orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Begitu luasnya kandungan ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al Qur'an, sehingga dikatakan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya tak akan habis biarpun ditulis dengan pena sebanyak daun-daun yang ada di seluruh pohon-pohon, dan dengan tinta sebanyak air yang ada di tujuh samudra. Artinya, merupakan kemustahilan bahwa ilmu pengetahuan yang ada di dalam Al Qur'an dapat dikuasai sepenuhnya oleh satu orang atau satu kelompok orang. Pada tahap awal saja, sudah disadari tentang kebutuhan terhadap masukan dari banyak pihak. Semakin banyak masukan dari banyak pihak, semakin lengkaplah hasil kajian yang dilakukan. Itulah keindahan dari keterbukaan pikiran atau keterbukaan sikap dalam bersilaturahmi.
No comments:
Post a Comment